Pukul 05.15 WIB, 6 November 1999, saya (Yeyen), suami saya (Achin), dan anak bungsu kami (Vincent), hendak ke Gambir.
Waktu itu kami berencana bertemu ibu saya di Bandung sebab ia sakit kanker payudara dan akan dibawa ke sinshe. Baru saja kami keluar dari gang, tepatnya di jalan arteri Palmerah, Jakarta Barat, sebuah mobil boks dari arah belakang tiba-tiba menyambar tubuh saya. Saya pun terjatuh ke arah trotoar dan kaki saya terlindas ban mobil.
"Minggir!" saya berteriak mencoba mengingatkan suami saya yang berjalan di depan. Namun karena kurang cepat bergerak, bress...! mobil yang sama menghantam muka suami saya sampai dia terjatuh. Sungguh mengerikan, suami saya jatuh ke arah jalan sehingga badannya masuk di bawah kolong mobil dan, kress...!, ban belakang mobil itu menggilas tubuhnya. Saya melihat dengan mata kepala sendiri ketika ban mobil itu menggilas dadanya dan menyeretnya sejauh kurang lebih 1 meter. Melihat kondisinya yang sangat parah, membuat saya lupa pada sakit saya sendiri. Spontan saya berteriak, "Tuhan Yesus, tolong! Tuhan Yesus, tolong!"
Mobil langsung lari tidak terkejar lagi. Saya hanya bisa jongkok di pinggir jalan sambil memangku suami. Karena lukanya sangat parah, tiba-tiba terlintas di benak saya, jangan-jangan suami saya umurnya tidak akan lama lagi. Karena pemikiran ini, saya seolah dituntun untuk mengatakan padanya demikian, "Kamu harus bertobat, minta ampun." Kata-kata ini saya sampaikan karena saya tahu, meski suami saya sudah Kristen dan dibaptis setelah 14 tahun kami menikah, namun ia jarang sekali ke gereja. Kalau saya ajak ke gereja, ia biasanya marah-marah bahkan mengajak bertengkar. "Pokoknya kamu harus minta ampun," kata saya berulang-ulang.
Tidak lama kemudian, taksi datang. Saya menyuruh anak saya, Vincent, untuk pulang. Di dalam taksi, kami ditemani oleh seorang tetangga. Sepanjang perjalanan, saya hanya bisa bernyanyi dan berdoa. Selain itu, saya terus meminta suami saya untuk bertobat, minta ampun pada Tuhan. Mendengar anjuran saya, ia memberikan respons. Dia berkata lirih, "Tuhan Yesus, ampuni saya." Saya pun menimpali, "Jangan berhenti panggil nama Yesus. Bilang, `Darah Yesus tolong saya!`" "Darah Yesus, darah Yesus, darah Yesus," kata-kata ini diulang-ulang suami saya hingga kami tiba di RS Pertamina.
Tiba di rumah sakit, suami saya langsung masuk ruang Unit Gawat Darurat (UGD). Ia langsung ditangani secara cepat. Kurang lebih 15 menit kemudian, hasilnya sudah dapat diketahui. Benar dugaan saya, kondisi suami saya memang betul-betul parah. Tulang rusuk bagian depan dan belakang, hampir semuanya patah. Dokter mengatakan, "Secara teori, seharusnya sulit untuk bertahan. Tidak ada kesempatan lagi." Kalau sebelumnya pada sepanjang perjalanan saya berdoa dan menyanyi, dan bisa menahan untuk tidak menangis, kini setelah tiba di rumah sakit, lebih-lebih setelah tahu hasil rontgen suami, air mata saya keluar dengan derasnya. "Tuhan, saya tidak kuat," bisik saya sambil menghubungi pendeta saya, Bapak Mulyadi Sulaeman. Pada saat saya mengatakan "tidak kuat", tiba-tiba ada suara yang berbisik, "Tuhan tidak akan mengujimu melebihi kekuatanmu." Saya pun berkata, "Tuhan kuatkan saya. Amin." Ketika selesai mengatakan hal itu, saya langsung mendapatkan kekuatan baru. Saya pun menjadi tegar.
Tidak berapa lama Pak Mulyadi datang. Kepada beliau saya berkata, "Om, tolong dijaga ya, saya sudah tidak tahan." Luka suami saya memang sangat parah. Celana jean yang ia pakai saat terjadi kecelakaan robek. Karenanya, wajar saja kalau kakinya penuh luka dan di pahanya ada luka yang sangat besar. Untuk mengeluarkan darah akibat paru-paru yang mengalami pendarahan, dada suami saya dilobangi. Pak Mulyadi sendiri, mungkin karena melihat harapan untuk hidup begitu kecil, dengan lirih ia menasihati, "Kamu yang sabar saja ya, Yen. Kalau Tuhan memanggil suamimu, kamu harus kuat." Saya mengangguk. Saya bisa memahami ucapannya karena memang menurut kalkulasi manusia, kemungkinan yang terbesar adalah kematian. "Om, saya pasrah. Saya rela suami saya dipanggil sekarang daripada menunggu nanti tapi belum bertobat. Kalau Tuhan mau panggil, panggillah," demikian jawaban saya penuh kepasrahan.
Kondisi suami saya betul-betul kritis. Paru-parunya tidak bisa bekerja dengan baik alias tidak bisa mengembang sehingga pernafasannya diatur oleh mesin. Mulutnya sudah tidak bisa berfungsi. Makanan dimasukkan lewat infus melalui satu lubang hidung, sementara lubang yang satunya untuk nafas. Leher juga dilubangi untuk "CPP", yang dipakai untuk mengontrol suhu tubuh. Melihat keadaannya yang seperti ini, pada hari ketiga dokter kembali berkata, "Ibu berdoa saja. Yang bisa menolong suami Ibu hanya imannya sendiri." Saya tahu kalau dokter sudah berkata begitu berarti harapan secara medis sudah tidak ada. Karena berdiri di dekat tempat tidur, suami saya dapat mendengar apa yang dikatakan sang dokter. Saya pun kembali menegaskan kata-kata dokter. Kata saya, "Kamu tidak usah khawatir. Seperti dikatakan pak dokter tadi, yang bisa menolong kamu itu hanya imanmu. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Tuhan itu baik, kamu sekarang sebenarnya sedang ditegur Tuhan. Sekarang kamu bersyukur saja. Ampuni orang yang menabrak kamu."
Saya betul-betul heran dengan kata-kata saya sendiri, terutama seruan untuk mengampuni sopir yang telah menabraknya. Saya yakin hikmat itu datangnya dari Roh Kudus. "Sudah jangan ingat-ingat lagi. Kamu jangan marah. Saat kamu mengampuni orang yang menabrak, Tuhan Yesus pasti mengampuni kamu. Ketika dosa kita diampuni, maka apa yang kamu minta pasti Tuhan dengar, sebab penghalang doa kita menurut firman Tuhan tak lain adalah dosa kita," tegas saya lagi. Sejujurnya, antara iman saya dan kenyataan waktu itu bertentangan, tapi saya harus belajar beriman. Di ruang ICU saya tetap berdoa, menyanyi, dan membacakan Alkitab untuk suami saya. Kalau saya sedang menyanyi seluruh ruangan bisa mendengar. Mereka memandangi saya. Mungkin mereka membatin, "Bagaimana mungkin suaminya sakit parah ia masih bisa menyanyi?"
Hari terus bergulir. Setiap kali dokter jaga datang, saya selalu menanyakan kondisi suami saya. Jawaban dokter selalu sama, "Tetap saja, belum juga membaik." Suatu kali, saat saya mengajukan pertanyaan yang sama, jawaban dokter demikian, "Tunggu besok, ya. Kalau besok tidak panas berarti mendingan, tapi kalau panas itu artinya berbahaya." Esoknya suhu badan suami benar-benar panas hingga 40 derajat. Suster di belakang saya saling berbisik, "Wah, tidak mungkin hidup." Tapi suami saya dapat melewati masa kritis itu dan panas itu akhirnya turun. Saya terus berdoa. Mata saya benar-benar hanya tertuju pada Tuhan Yesus.
Hari keenam, pukul 09.00 WIB, keadaan suami kritis lagi. Suami saya pingsan. Untuk menyadarkannya ia harus ditepuk-tepuk bergantian oleh para suster. Saya segera dipanggil oleh dokter. Katanya, "Keadaan Bapak...." Namun, sebelum dokter itu meneruskan kata-katanya, saya langsung memotongnya, "Entahlah Dok, saya tidak mau mendengarkan apa yang Dokter katakan. Jika Dokter ingin mengatakan sesuatu, katakan saja kepada pendeta saya." Dokter itu diam dan saya segera keluar menelepon pak pendeta. Saat itu saya sendirian. Pekerja gereja yang setiap malam menemani saya pagi itu sudah pulang. Setelah menunggu agak lama, pak pendeta akhirnya datang. Saya tetap di luar karena takut. Ketika pak pendeta masuk ia mendapati pengukur detak jantung suami saya sempat lurus. Namun, 2 jam kemudian bergerak lagi dan kembali pada posisi semula. Kira-kira pukul 11.00 WIB, karena desakan pak pendeta, saya pun mau masuk ke kamar rawat suami saya. "Ko, ko, ko," begitu saya memanggil suami dan ia menyahut. Karena sudah sadar saya tidak takut lagi. Sekali lagi ia selamat.
"Ma, Agung bilang, waktu berdoa ia melihat sinar masuk ke kamar ICU," kata Michael sembari menyebut nama temannya.
"Lho, kamu sedang menutup mata, bagaimana bisa lihat?" tanya saya.
"Ya, waktu menutup mata itulah saya melihatnya,"jawab Agung mantap.
"Saat melihat cahaya itu, apa yang kamu rasakan?" pertanyaan ini saya ajukan sebab di kamar ICU memang sering terjadi peristiwa aneh-aneh. Saya khawatir cahaya itu bukan dari Tuhan tapi dari setan.
"Perasaan saya damai," jawab Agung. Mendengar cerita dan jawaban Agung, saya langsung mengimani bahwa Tuhan sedang melawat suami saya. Melihat buahnya saya yakin sinar itu merupakan manifestasi Roh Kudus. Saya percaya, kalau ada lawatan Allah pasti sesuatu akan terjadi. Dari kesaksian Agung itu, iman saya kembali dibangkitkan, saya yakin suami saya pasti sembuh. "Terima kasih Tuhan," ujar saya penuh syukur.
Hari berikutnya, saya bertanya pada dokter ahli paru-paru dan mendapat jawaban menggembirakan, "Sudah ada sedikit perbaikan." "Terima kasih dokter, puji Tuhan!" ujar saya spontan, pokoknya saya terus imani dari hal yang kecil pasti akan terjadi hal yang besar. "Jangan berterima kasih pada saya, berterimakasihlah pada Tuhan," jawab dokter itu. Tadinya saya tidak tahu, ternyata dokter itu memang saudara seiman. Keadaan ini terus membaik. Setelah dirawat di ICU selama 5 minggu, suami saya dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Keadaan di ICU sungguh berkesan. Kehadiran saya paling tidak telah membuat orang-orang yang tegang sedikit merasa terhibur. Saya percaya ketika kita menyembah Tuhan lewat nyanyian, hadirat Allah ada di ruangan itu. Hal inilah yang mungkin membuat suasana di ICU menjadi hidup dan lebih nyaman. Sampai-sampai kalau saya tidak bernyanyi, saudara yang tak seiman pun bahkan sering bilang, "Ayo nyanyi, dong. Kalau kamu tidak nyanyi sepi, lho!" Ada juga yang mengatakan, "Suaramu merdu lho." Wah heran juga saya, sebab seumur-umur baru kali ini suara saya dipuji.
Di ruang perawatan biasa, kesehatan suami saya semakin cepat pulih. Di ruang ini suami hanya dirawat selama 2 minggu dan herannya setelah dirontgen, tulang-tulang rusuknya yang patah dinyatakan telah tersambung kembali! Tanggal 30 Desember 1999, suami saya keluar dari rumah sakit. Waktu pulang suami saya sudah normal. Ia sudah dapat berjalan dan tidak memakai alat bantu apa pun. Ia juga tidak pantang makan. Tanggal 31 Desember 1999, suami saya sudah ke gereja. Akhir 1999, sungguh menjadi saat yang manis bagi keluarga kami, sebab tidak saja pada tahun itu suami saya mengalami mukjizat kesembuhan, tapi kerinduan saya dan anak-anak untuk pergi ke gereja bersama ayahnya sudah dijawab Tuhan. (Sabda)
"Minggir!" saya berteriak mencoba mengingatkan suami saya yang berjalan di depan. Namun karena kurang cepat bergerak, bress...! mobil yang sama menghantam muka suami saya sampai dia terjatuh. Sungguh mengerikan, suami saya jatuh ke arah jalan sehingga badannya masuk di bawah kolong mobil dan, kress...!, ban belakang mobil itu menggilas tubuhnya. Saya melihat dengan mata kepala sendiri ketika ban mobil itu menggilas dadanya dan menyeretnya sejauh kurang lebih 1 meter. Melihat kondisinya yang sangat parah, membuat saya lupa pada sakit saya sendiri. Spontan saya berteriak, "Tuhan Yesus, tolong! Tuhan Yesus, tolong!"
Mobil langsung lari tidak terkejar lagi. Saya hanya bisa jongkok di pinggir jalan sambil memangku suami. Karena lukanya sangat parah, tiba-tiba terlintas di benak saya, jangan-jangan suami saya umurnya tidak akan lama lagi. Karena pemikiran ini, saya seolah dituntun untuk mengatakan padanya demikian, "Kamu harus bertobat, minta ampun." Kata-kata ini saya sampaikan karena saya tahu, meski suami saya sudah Kristen dan dibaptis setelah 14 tahun kami menikah, namun ia jarang sekali ke gereja. Kalau saya ajak ke gereja, ia biasanya marah-marah bahkan mengajak bertengkar. "Pokoknya kamu harus minta ampun," kata saya berulang-ulang.
Tidak lama kemudian, taksi datang. Saya menyuruh anak saya, Vincent, untuk pulang. Di dalam taksi, kami ditemani oleh seorang tetangga. Sepanjang perjalanan, saya hanya bisa bernyanyi dan berdoa. Selain itu, saya terus meminta suami saya untuk bertobat, minta ampun pada Tuhan. Mendengar anjuran saya, ia memberikan respons. Dia berkata lirih, "Tuhan Yesus, ampuni saya." Saya pun menimpali, "Jangan berhenti panggil nama Yesus. Bilang, `Darah Yesus tolong saya!`" "Darah Yesus, darah Yesus, darah Yesus," kata-kata ini diulang-ulang suami saya hingga kami tiba di RS Pertamina.
Tiba di rumah sakit, suami saya langsung masuk ruang Unit Gawat Darurat (UGD). Ia langsung ditangani secara cepat. Kurang lebih 15 menit kemudian, hasilnya sudah dapat diketahui. Benar dugaan saya, kondisi suami saya memang betul-betul parah. Tulang rusuk bagian depan dan belakang, hampir semuanya patah. Dokter mengatakan, "Secara teori, seharusnya sulit untuk bertahan. Tidak ada kesempatan lagi." Kalau sebelumnya pada sepanjang perjalanan saya berdoa dan menyanyi, dan bisa menahan untuk tidak menangis, kini setelah tiba di rumah sakit, lebih-lebih setelah tahu hasil rontgen suami, air mata saya keluar dengan derasnya. "Tuhan, saya tidak kuat," bisik saya sambil menghubungi pendeta saya, Bapak Mulyadi Sulaeman. Pada saat saya mengatakan "tidak kuat", tiba-tiba ada suara yang berbisik, "Tuhan tidak akan mengujimu melebihi kekuatanmu." Saya pun berkata, "Tuhan kuatkan saya. Amin." Ketika selesai mengatakan hal itu, saya langsung mendapatkan kekuatan baru. Saya pun menjadi tegar.
Tidak berapa lama Pak Mulyadi datang. Kepada beliau saya berkata, "Om, tolong dijaga ya, saya sudah tidak tahan." Luka suami saya memang sangat parah. Celana jean yang ia pakai saat terjadi kecelakaan robek. Karenanya, wajar saja kalau kakinya penuh luka dan di pahanya ada luka yang sangat besar. Untuk mengeluarkan darah akibat paru-paru yang mengalami pendarahan, dada suami saya dilobangi. Pak Mulyadi sendiri, mungkin karena melihat harapan untuk hidup begitu kecil, dengan lirih ia menasihati, "Kamu yang sabar saja ya, Yen. Kalau Tuhan memanggil suamimu, kamu harus kuat." Saya mengangguk. Saya bisa memahami ucapannya karena memang menurut kalkulasi manusia, kemungkinan yang terbesar adalah kematian. "Om, saya pasrah. Saya rela suami saya dipanggil sekarang daripada menunggu nanti tapi belum bertobat. Kalau Tuhan mau panggil, panggillah," demikian jawaban saya penuh kepasrahan.
Kondisi suami saya betul-betul kritis. Paru-parunya tidak bisa bekerja dengan baik alias tidak bisa mengembang sehingga pernafasannya diatur oleh mesin. Mulutnya sudah tidak bisa berfungsi. Makanan dimasukkan lewat infus melalui satu lubang hidung, sementara lubang yang satunya untuk nafas. Leher juga dilubangi untuk "CPP", yang dipakai untuk mengontrol suhu tubuh. Melihat keadaannya yang seperti ini, pada hari ketiga dokter kembali berkata, "Ibu berdoa saja. Yang bisa menolong suami Ibu hanya imannya sendiri." Saya tahu kalau dokter sudah berkata begitu berarti harapan secara medis sudah tidak ada. Karena berdiri di dekat tempat tidur, suami saya dapat mendengar apa yang dikatakan sang dokter. Saya pun kembali menegaskan kata-kata dokter. Kata saya, "Kamu tidak usah khawatir. Seperti dikatakan pak dokter tadi, yang bisa menolong kamu itu hanya imanmu. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Tuhan itu baik, kamu sekarang sebenarnya sedang ditegur Tuhan. Sekarang kamu bersyukur saja. Ampuni orang yang menabrak kamu."
Saya betul-betul heran dengan kata-kata saya sendiri, terutama seruan untuk mengampuni sopir yang telah menabraknya. Saya yakin hikmat itu datangnya dari Roh Kudus. "Sudah jangan ingat-ingat lagi. Kamu jangan marah. Saat kamu mengampuni orang yang menabrak, Tuhan Yesus pasti mengampuni kamu. Ketika dosa kita diampuni, maka apa yang kamu minta pasti Tuhan dengar, sebab penghalang doa kita menurut firman Tuhan tak lain adalah dosa kita," tegas saya lagi. Sejujurnya, antara iman saya dan kenyataan waktu itu bertentangan, tapi saya harus belajar beriman. Di ruang ICU saya tetap berdoa, menyanyi, dan membacakan Alkitab untuk suami saya. Kalau saya sedang menyanyi seluruh ruangan bisa mendengar. Mereka memandangi saya. Mungkin mereka membatin, "Bagaimana mungkin suaminya sakit parah ia masih bisa menyanyi?"
Hari terus bergulir. Setiap kali dokter jaga datang, saya selalu menanyakan kondisi suami saya. Jawaban dokter selalu sama, "Tetap saja, belum juga membaik." Suatu kali, saat saya mengajukan pertanyaan yang sama, jawaban dokter demikian, "Tunggu besok, ya. Kalau besok tidak panas berarti mendingan, tapi kalau panas itu artinya berbahaya." Esoknya suhu badan suami benar-benar panas hingga 40 derajat. Suster di belakang saya saling berbisik, "Wah, tidak mungkin hidup." Tapi suami saya dapat melewati masa kritis itu dan panas itu akhirnya turun. Saya terus berdoa. Mata saya benar-benar hanya tertuju pada Tuhan Yesus.
Hari keenam, pukul 09.00 WIB, keadaan suami kritis lagi. Suami saya pingsan. Untuk menyadarkannya ia harus ditepuk-tepuk bergantian oleh para suster. Saya segera dipanggil oleh dokter. Katanya, "Keadaan Bapak...." Namun, sebelum dokter itu meneruskan kata-katanya, saya langsung memotongnya, "Entahlah Dok, saya tidak mau mendengarkan apa yang Dokter katakan. Jika Dokter ingin mengatakan sesuatu, katakan saja kepada pendeta saya." Dokter itu diam dan saya segera keluar menelepon pak pendeta. Saat itu saya sendirian. Pekerja gereja yang setiap malam menemani saya pagi itu sudah pulang. Setelah menunggu agak lama, pak pendeta akhirnya datang. Saya tetap di luar karena takut. Ketika pak pendeta masuk ia mendapati pengukur detak jantung suami saya sempat lurus. Namun, 2 jam kemudian bergerak lagi dan kembali pada posisi semula. Kira-kira pukul 11.00 WIB, karena desakan pak pendeta, saya pun mau masuk ke kamar rawat suami saya. "Ko, ko, ko," begitu saya memanggil suami dan ia menyahut. Karena sudah sadar saya tidak takut lagi. Sekali lagi ia selamat.
Cahaya Terang Masuk ke Kamar ICU
Malam hari setelah peristiwa yang menegangkan itu, anak saya yang pertama, Michael, datang bersama 2 orang temannya. Mereka bukan orang Kristen. Kami di tempat itu berenam -- Michael dengan 2 orang temannya, saya, seorang pekerja gereja, dan seorang teman saya. Kira-kira pukul 22.00 WIB kami berdoa bersama di lift. Karena saya ingin menghormati teman Michael yang bukan Kristen, saya bilang, "Kita berdoa dalam hati saja, berdoa menurut kepercayaan masing-masing." Selesai berdoa, teman Michael yang bukan Kristen mengatakan, "Michael, waktu kita berdoa, saya melihat ada cahaya terang sekali masuk ke kamar ICU.""Ma, Agung bilang, waktu berdoa ia melihat sinar masuk ke kamar ICU," kata Michael sembari menyebut nama temannya.
"Lho, kamu sedang menutup mata, bagaimana bisa lihat?" tanya saya.
"Ya, waktu menutup mata itulah saya melihatnya,"jawab Agung mantap.
"Saat melihat cahaya itu, apa yang kamu rasakan?" pertanyaan ini saya ajukan sebab di kamar ICU memang sering terjadi peristiwa aneh-aneh. Saya khawatir cahaya itu bukan dari Tuhan tapi dari setan.
"Perasaan saya damai," jawab Agung. Mendengar cerita dan jawaban Agung, saya langsung mengimani bahwa Tuhan sedang melawat suami saya. Melihat buahnya saya yakin sinar itu merupakan manifestasi Roh Kudus. Saya percaya, kalau ada lawatan Allah pasti sesuatu akan terjadi. Dari kesaksian Agung itu, iman saya kembali dibangkitkan, saya yakin suami saya pasti sembuh. "Terima kasih Tuhan," ujar saya penuh syukur.
Hari berikutnya, saya bertanya pada dokter ahli paru-paru dan mendapat jawaban menggembirakan, "Sudah ada sedikit perbaikan." "Terima kasih dokter, puji Tuhan!" ujar saya spontan, pokoknya saya terus imani dari hal yang kecil pasti akan terjadi hal yang besar. "Jangan berterima kasih pada saya, berterimakasihlah pada Tuhan," jawab dokter itu. Tadinya saya tidak tahu, ternyata dokter itu memang saudara seiman. Keadaan ini terus membaik. Setelah dirawat di ICU selama 5 minggu, suami saya dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Keadaan di ICU sungguh berkesan. Kehadiran saya paling tidak telah membuat orang-orang yang tegang sedikit merasa terhibur. Saya percaya ketika kita menyembah Tuhan lewat nyanyian, hadirat Allah ada di ruangan itu. Hal inilah yang mungkin membuat suasana di ICU menjadi hidup dan lebih nyaman. Sampai-sampai kalau saya tidak bernyanyi, saudara yang tak seiman pun bahkan sering bilang, "Ayo nyanyi, dong. Kalau kamu tidak nyanyi sepi, lho!" Ada juga yang mengatakan, "Suaramu merdu lho." Wah heran juga saya, sebab seumur-umur baru kali ini suara saya dipuji.
Di ruang perawatan biasa, kesehatan suami saya semakin cepat pulih. Di ruang ini suami hanya dirawat selama 2 minggu dan herannya setelah dirontgen, tulang-tulang rusuknya yang patah dinyatakan telah tersambung kembali! Tanggal 30 Desember 1999, suami saya keluar dari rumah sakit. Waktu pulang suami saya sudah normal. Ia sudah dapat berjalan dan tidak memakai alat bantu apa pun. Ia juga tidak pantang makan. Tanggal 31 Desember 1999, suami saya sudah ke gereja. Akhir 1999, sungguh menjadi saat yang manis bagi keluarga kami, sebab tidak saja pada tahun itu suami saya mengalami mukjizat kesembuhan, tapi kerinduan saya dan anak-anak untuk pergi ke gereja bersama ayahnya sudah dijawab Tuhan. (Sabda)
0 Komentar